Jakarta, CNN Indonesia -- Badan menggigil, gigi gemeletak kencang dan telapak tangan terasa membeku menjadi peristiwa yang tak pernah dilupakan saat pertama kalinya menginjakan kaki di kawasan Gunung Bromo, Provinsi Jawa Timur. Hawa dingin yang menusuk seraya membuat menyesal tak membawa jaket dan sarung tangan super tebal milik orang tua saya ketika tiba di kawasan itu di akhir pekan lalu. Suhu udara di kawasan itu tercatat dikisaran 12 derajat Celsius pada sore hari. Bahkan, pada pagi hari udara dingin itu bisa menyetuh 7-8 derajat Celcius. Terletak di ketinggian 2329 mdpl, Gunung Bromo membentang dalam empat kabupaten, yakni Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Lumajang, dan Kabupaten Malang. Dalam bahasa Sansekerta, nama Bromo berarti Brahma. Brahma merupakan salah satu Dewa utama dalam agama Hindu.Oleh karenanya, Bromo dijadikan sebagai gunung suci bagi masyarakat asli di sekitar Bromo yaitu Suku Tengger yang mayoritas beragama Hindu. Tak sulit menjangkau 'Gunung Dewa' ini. Berbagai moda transportasi darat maupun udara bisa dipilih. Jika menaiki bus, bisa turun di terminal bus Probolinggo dilanjutkan dengan bus kecil ke Bromo. Apabila memilih naik kereta, bisa turun di Stasiun Gubeng lalu dilanjutkan dengan bus ke Terminal Probolinggo dan disambung naik bus kecil ke Bromo. Foto: CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra | Kebetulan saya menggunakan pesawat untuk sampai ke destinasi tersebut. Saya terbang ke Bromo atas undangan dari Plataran Indonesia. Selama dua hari di sana, saya diajak untuk menikmati suguhan budaya Suku Tengger dan keindahan alam Gunung Bromo. Tak berlama-lama di bandara, saya langsung diantar menuju tempat penginapan di Plataran Bromo yang berlokasi di Desa Ngadiwono, Pasuruan, Jawa Timur. Minibus berwarna putih yang saya tumpangi melaju perlahan menuju penginapan tersebut. Dari Bandara Juanda Surabaya menuju penginapan saya dapat ditempuh sekitar tiga jam. Sepanjang perjalanan menuju Bromo dijamin tak akan membosankan dan memanjakan mata. Saat memasuki kawasan Bromo di wilayah Pasuruan, jalan akan terus berkelok-kelok menanjak dengan suguhan pemandangan perbukitan Tengger yang menghijau. Sejauh mata menandang, kawasan sawah terasering yang diselingi pohon-pohon cemara khas kawasan pegunungan menghiasi sisi kanan-kiri jalan. Bagi saya yang memiliki penyakit gerakan (motion sickness), menghadapi jalan berkelok-kelok itu sungguh tak mengenakan. Oleh karena itu, saya menyarankan untuk membekali diri dengan obat anti mabuk agar menikmati perjalanan. Berikut ini ialah rangkuman perjalanan saya saat berwisata semalam selama di Kawasan Gunung Bromo pada akhir pekan kemarin Hari Pertama, Sabtu 22 September 2018 Pukul 17.00 WIB - Bersantai Menikmati Magical Sunset Sekitar tiga jam perjalanan, akhirnya saya tiba di Plataran Bromo Hotel yang menjadi tempat saya menginap. Hotel ini memiliki ketinggian diatas 1800 mdpl dan lokasinya cukup strategis karena memiliki jarak sekitar 30 menit berkendara dari viewpoint Penanjakan. Sesampainya di sana, saya diberitahu bahwa jadwal check-in masih pukul 9 malam. Sehingga saya punya banyak waktu menganggur dan memilih untuk berkeliling area hotel. Karena waktu senja telah tiba, saya berkeinginan untuk untuk melihat dan merasakan Magical Sunset khas Pegunungan Tengger. Petugas hotel pun mengarahkan saya untuk menikmati sunset di spot Rooftop Teras Bromo Restaurant yang masih dalam satu kompleks dengan Plataran Bromo. Spot ini memiliki view andalan ketika matahari terbenam karena letaknya yang berhadapan langsung dengan berbukitan Tengger. [Gambas:Instagram] Alhasil, sunset dengan latar Gunung Arjuno dan Pegunungan Tengger disekitarnya menjadi pemandangan indah disore hari itu. 19.00 WIB Menikmati Atraksi Seni dan Budaya Suku Tengger Selain pesona alamnya yang indah, Kawasan Gunung Bromo dan Pegunungan Tengger juga menyimpan keindahan tradisi budayanya. Saya yang datang di akhir pekan lalu bertepatan dengan digelarnya 'Festival Bromo Xtravaganza' yang didalamnya terdapat atraksi pertunjukan seni dan budaya dari masyarakat Suku Tengger. Festival itu digelar untuk melengkapi event olahraga Pasuruan Bromo Maraton 2018 yang akan diselenggarakan keesokan harinya. Festival tahunan itu sudah digelar selama enam tahun terakhir di sekitar Bromo. Kali ini, festival tersebut digelar di Putri Dewi Amphliteater yang masih dalam kawasan Plataran Bromo. Sejak sore hari, festival itu berangsur-angsur dipenuhi turis asing maupun lokal untuk menikmati sajian tersebut Berbagai atraksi seni budaya seperti Tari Remo khas Jawa Timur, tari Kuda Lumping atau Jaranan dan Tari Ujung khas Tengger silih berganti dipentaskan. Atraksi kesenian Suku Tengger. (Foto: dok Plataran Bromo) | Mata dan perasaan saya pun semakin antusias melihat pertunjukan itu ditengah dinginnya hembusan angin yang menyentuh 9 derajat celcius di malam itu.Pertunjukan itu semakin syahdu ketika alunan Gamelan Adat Suku Tengger tampil yang disusul atraksi Kesenian Ketipung dan Baleganjur turut serta dipadu siraman kelap kelip lampu warna warni di amphliteater tersebut. 21.00 Menerbangkan Lampion dan Pesta Kembang Api Sebelum acara ditutup, panitia Festival Bromo Xtravaganza membagi-bagikan ratusan lampion kertas untuk diterbangkan bagi masyarakat yang hadir. Saya pun turut mengambil bagian untuk melepaskan satu dari ratusan lampion-lampion itu ke udara untuk menyemarakan festival di malam itu. Sebelum menerbangkan lampion, pembawa acara diatas panggung mengkomando masyarakat yang hadir untuk tenang dan memanjatkan doa menurut keyakinannya masing-masing. Satu persatu lampion-lampion itu terbang dan langit kawasan Bromo di malam itu seketika terang tak seperti biasanya. Tak berhenti disitu, perayaan festival malam itu ditutup dengan pesta kembang api selama lima menit. 21.00 WIB Mencicipi Bermalam di 'Rumah' Mewah Ala Eropa Saat bermalam di Plataran Bromo Hotel, saya diberikan kasempatan menginap di Plataran Bromo Residence dengan konsep villa/residence yang sangat luxury. 'Rumah' yang memiliki tiga lantai itu dibangun dengan konsep design ala eropa yang dipadu dengan sentuhan dekorasi nusantara. Residence itu dilengkapi fasilitas 10 kasur yang tersebar di tiga lantainya, kolam renang, dapur, kamar mandi eksklusif, ruang keluarga yang luas dengan penghangat ruangan dari kayu. Satu hal yang membuat saya heran adalah tak ada AC sama sekali di residence tersebut seperti hotel atau villa pada umumnya. Alasannya pun sudah saya tebak. Udara yang masuk dari luar pun sudah cukup membuat badan menggigil sehingga membuat saya terus berjibaku dalam selimut semalam suntuk. Humas Plataran Bromo Hotel mengatakan Residence ini sering digunakan oleh para turis yang membawa keluarga besar saat berlibur ke Bromo. Residence ini bisa muat setidaknya untuk 10 orang bahkan lebih. Untuk menikmati Residence yang serba luas ini, tamu bisa merogoh kocek Rp18 juta per malamnya. Halaman depan Plataran Bromo Residence. (Foto: CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra) | Minggu, 23 September 201808.00 WIB - 'Ngojek' Ke Bukit Kingkong Bromo Ketika sudah berada di kawasan Bromo, tak lengkap rasanya jika tak menikmati langsung dan berselfie ria dari dekat Gunung Bromo. Saya pun telah bersiap menembus udara dingin pagi untuk menanjak ke Bukit Kingkong menikmati keindahan Bromo. Saya memilih Bukit Kingkong karena letaknya tak begitu jauh dari lokasi penginapan ketimbang harus menanjak ke lokasi Penanjakan 1 atau 2. Bukit yang terletak di Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan itu memiliki tinggi sekitar 2600 mdpl. Dinamakan Bukit Kingkong karena bukit tersebut memiliki tonjolan-tonjolan yang menyerupai wajah kingkong. Untuk moda transportasi, saya tak menggunakan mobil jeep yang biasa digunakan untuk menanjak. Akan tetapi, saya mencoba untuk 'anti mainstream'menyewa ojek yang disediakan oleh penduduk sekitar. Menjangkau bukit ini cukup dengan berkendara sekitar 30 menit dari penginapan. Jika menggunakan ojek, tarifnya berkisar antara Rp150 ribu - Rp200 ribu sesuai kesepakatan. Disepanjang perjalanan, saya seringkali bertemu dengan ratusan peserta Bromo Maraton 2018 yang kebetulan pagi itu memulai perlombaan. Foto: CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra | Sebelum tiba di Bukit Kingkong, pengunjung wajib membayar tiket masuk di pintu gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru sebesar Rp27.500 di hari kerja, dan Rp32.500 di akhir pekan untuk wisatawan lokal.Saya tiba di Bukit Kingkong sekitar pukul 08.30 WIB pagi, matahari mulai tinggi namun cuaca masih terasa dingin. Disini saya bisa melihat gagahnya gunung tertinggi di Pulau Jawa, Puncak Mahameru yang berkumpul Gunung Bromo, Gunung Kursi, Watangan, dan Gunung Widodaren. Sontak saya langsung mengeluarkan kamera pocket dan tongsis untuk mengabadikan pemandangan indah itu 12.00 WIB Mencicipi Dimsum Dan Onde-onde Hangat Waktu untuk check out sudah hampir tiba. Setelah mengemas barang bawaan dan menaruhnya di lobi hotel, saya beranjak menuju Teras Bromo Restaurant untuk makan siang. Teras Bromo Restaurant turut menyajikan aneka hidangan khas nusantara dan Asia. Berbagai pilihan menu pun tersaji. Saya pun memesan menu andalan restauran itu berupa Dimsum hangat bermacam jenis dan Onde-onde berisi kacang hijau sebagai santap siang sebelum pulang. [Gambas:Instagram] Saya mencoba memilih dimsum dengan jenis siu mai, bakpau dan hargau. Rasanya pun enak meski tanpa ditemani oleh saus sambal. Onde-ondenya pun langsung terasa meleleh ketika digigit. Untuk minumannya saya memesan teh hangat dan jus jambu untuk melengkapi sajian tersebut. Usai tegukan teh hangat yang terakhir, berakhir sudah pengalaman saya berdingin-dinginan sehari semalam di Kawasan Bromo. (agr) Let's block ads! (Why?) September 30, 2018 at 05:54AM via CNN Indonesia https://ift.tt/2zG42XA |
No comments:
Post a Comment