Jakarta, CNN Indonesia -- Asap rokok terus keluar dari mulut Hartono kala bercerita tentang pekerjaan dan asal-usulnya. Dia adalah salah satu pembuat spanduk pecel lele khas Lamongan yang akrab di masyarakat. Segelas kopi hitam sesekali dia seruput, menemani CNNIndonesia.com yang mengunjunginya di lokasi tempat dirinya bekerja di kawasan Pekayon, Bekasi. Ruangan 7 x 3 meter yang penuh dengan sisa coretan tinta di dinding, beraroma bahan kimia, dan tampak berantakan itu sudah jadi tempat berkarya pria 49 tahun tersebut sejak 2005. Teriknya cahaya matahari di Bekasi kala itu tak menguapkan kenangan Hartono akan perjalanannya menjajal bisnis spanduk pecel yang telah dilakoni lebih dari dua dekade. Pria yang lahir dan besar di Lamongan itu menjadi salah satu saksi perkembangan pecel lele, karya seni yang semula untuk bisnis lalu berkembang menjadi sebuah ciri dan identitas sosial budaya. "Dulu di Lamongan belum ada pecel lele, yang ada soto ayam atau soto Lamongan. Selain teknologi belum canggih, penjual enggak tahu bikin spanduk di mana, akhirnya para pedagang lukis sendiri," kata Hartono.Har, sapaan akrabnya, menjelaskan menu pecel lele dan pecel ayam baru muncul di Lamongan akhir era '70-an. Dua menu itu jadi titik awal perkembangan spanduk pecel lele yang kini menyebar di berbagai tepi jalan. Namun kala itu bentuk ayam dan lele yang khas belum seikonis saat ini, bahkan Har menyebut gambar menu tersebut tak mirip sama sekali dengan hewan aslinya. Para pedagang Lamongan tak patah arang meski terbendung keterbatasan. Mereka terus membuat spanduk lukis untuk mencapai gambar binatang yang dinilai sempurna. Menurut Har, perkembangan pesat pembuatan spanduk lukis pecel terjadi di era 1980-an. Spanduk itu pun dikenal dengan sebutan "letter". Entah siapa gerangan yang memulai sebutan itu, namun Har menyebut orang Lamongan mengartikan kata itu sebagai "tulisan", mirip dengan makna dalam bahasa Inggris. Hartono, pembuat spanduk pecel lele Lamongan. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) | Dua hal yang menarik dari spanduk pecel lele Lamongan adalah gambar binatang dan dominan warna-warna terang. Warna hijau muda, oranye muda, kuning, merah dan bahkan jambon mereka tabrakkan. Warna tersebut digabungkan dengan teknik gradasi.Para tukang pecel ini bersikeras membuat spanduk yang paripurna dengan warna ngejreng tak lain tak bukan demi pemasaran. Komposisi warna bagus atau tidak itu urusan belakangan, yang penting warung pecel mentereng di malam hari, dan menarik pembeli. Bahkan untuk semakin mencolok pandangan calon pembeli, beberapa pedagang menyorot spanduk dari belakang dengan lampu sehingga terlihat menyala. Tak ada ilmu desain, apalagi komunikasi visual yang ditempa oleh para pedagang ini. Mereka hanya modal tekad membuat pembeli tertarik dengan dagangannya yang sejatinya makanan rumahan itu. "Era 1990-an sudah banyak yang punya rasa seni. Ada yang enggak bisa sama sekali sampai bisa, ada yang memang suka gambar. Seperti saya suka gambar sejak sekolah," kata Har sembari memainkan rokok yang entah ke berapa di sela jari-jarinya. Seiring berjalannya waktu, menu makanan pecel berkembang bertambah banyak yang diikuti gambar di spanduk, seperti makanan dari hewan laut yang merujuk Lamongan yang memang kota di Pantai Utara Jawa. Seiring dengan waktu pula, pecel Lamongan beserta spanduknya menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. CNNIndonesia.com belum mendapatkan penjelasan sahih dan resmi alasan spanduk warung pecel Lamongan ini nyaris identik satu dengan yang lain meski beda daerah. Namun Hartono menyebut kala orang Lamongan merantau dan memilih berjualan pecel, dia ingin menggunakan spanduk yang sama dengan di kampungnya. Seperti Hartono sendiri. Identitas Sosial Hartono mengenang kala pertama kalinya ia menginjakkan kaki di Jakarta pada 1992. Pada 25 tahun lalu, ia pergi ke ibu kota untuk membantu sepupunya yang lebih dulu berjualan pecel. Hartono kala meracik cat untuk spanduk. (CNN Indonesia/M. Andika Putra) | Tak butuh waktu lama, pada 1994, ia membuka sendiri usaha tersebut sembari membuat spanduk sebagai usaha sampingan. Tapi pada 2008, ia gantung wajan dan fokus membuat spanduk pecel."Rata-rata spanduk bertahan satu sampai dua tahun, agar setiap hari bikin setidaknya saya harus punya 730 pelanggan. Ketika dapat pelanggan sebanyak itu, saya berhenti dagang pecel," kata Har yang membuat spanduk dengan cara kombinasi sablon dan lukis untuk gambar hewan menunya. Bukan cuma Hartono yang merantau dan membuat spanduk lukis pecel Lamongan. CNNIndonesia.com pergi ke Serang, Banten, untuk bertemu dengan Trisno yang juga memiliki perjalanan tak jauh berbeda dengan Hartono. Trisno semula berjualan pecel di dekat salah satu pabrik di Serang pada 2012. Namun pada 2016, pabrik itu tutup dan Trisno kena imbas harus gulung tikar. Namun gulung tikar membuatnya menggerai spanduk pecel Lamongan. Ia sempat mempelajari teknik membuat spanduk dari kerabatnya. Dulu, katanya, pembuat spanduk pecel lele khas itu hanya ada di Lamongan sehingga pedagang harus pulang kampung untuk dapat spanduk yang mereka inginkan. Namun kini, pembuat spanduk pecel lele Lamongan ada di mana-mana, sama seperti pedagang makanan itu sendiri. "Kami ada komunitas di Facebook, namanya Komunitas Spanduk Lukis Lamongan. Sekarang berubah menjadi Komunitas Pecel Lele Lamongan," kata Trisno. Bukan hanya berisi pelukis spanduk, pada komunitas itu juga terdapat pedagang pecel. Sembari mencari teman, pelukis spanduk pecel lele Lamongan juga bisa promosi. Bahkan lewat komunitas itu, Trisno berhasil menjual spanduk sampai Papua. Pembeli di Papua, kata Trisno, juga orang asli Lamongan. Menurutnya hampir setiap pedagang pecel asli Lamongan akan memakai spanduk dengan gaya seperti kampung halamannya. Trisno, pembuat spanduk pecel lele Lamongan. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) | "Karena selain untuk pemasaran, spanduk itu juga identitas kami. Kebanyakan yang bisa membuat spanduk lukis juga orang Lamongan. Walau ada pedagang dan penjual yang bukan orang Lamongan," katanya.Identitas itu penting kala berhadapan dengan pedagang pecel lele asal daerah lain, seperti Brebes. Menurut Trisno, gaya Lamongan dengan Brebes amat berbeda. Gaya Brebes, disebut Trisno, hanya menggunakan dua warna yaitu biru dan merah. Selain itu, tidak ada gambar hewan yang sesuai dengan menu makanan. Hal ini beda dengan gaya Lamongan dengan tiga warna berbeda dan ada gambar hewannya. Berbeda dengan Har, Trisno masih mempertahankan membuat spanduk hanya dengan melukis. Selain lebih tahan lama, ia tidak ingin menghilangkan pakem spanduk pecel lele Lamongan. "Salah satu khas spanduk pecel lele Lamongan itu warna tulisan dan binatang tembus jelas ke belakang. Itu bisa didapat dengan baik kalau dilukis," kata Trisno. (end) Let's block ads! (Why?) September 29, 2018 at 02:46AM via CNN Indonesia https://ift.tt/2y3FWUi |
No comments:
Post a Comment