Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah Brent menguat sepanjang kuartal ketiga tahun ini. Penguatan dipicu oleh kekhawatiran terhadap pengenaan sanksi Amerika Serikat (AS) yang bakal menekan ekspor minyak mentah dari Iran meski negara produsen minyak lain mengerek produksinya. Dilansir dari Reuters, Senin (1/10), harga minyak mentah berjangka Brent pada perdagangan Jumat (28/9) ditutup di level US$82,72 per barel atau naik sekitar 4 persen selama periode Juli - September 2018. Sementara, harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) turun sekitar 1 persen selama kuartal III 2018. Pada perdagangan Jumat (28/9) lalu, WTI ditutup di level US$73,25 per barel. Namun, secara bulanan, WTI naik sekitar lima persen. Ronde baru sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran, produsen terbesar ketiga di Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC), akan mulai berlaku 4 November 2018. Sebelumnya, AS telah memberlakukan sanksi terhadap ekspor sejumlah produk Iran pada Agustus 2018 lalu. "Potensi gangguan pasokan karena penurunan produksi minyak di Iran dan Venezuela akan tetap menjadi faktor pendorong kenaikan harga minyak (bullish), dan ronde kedua dari sanksi AS terhadap Iran di November akan mendorong sentimen tersebut lebih jauh," ujar Analis Energi Senior Interfax Energy Abhishek Kumar di London.Pemerintah AS meminta negara konsumen minyak AS memangkas impor minyak dari Iran hingga ke level nol. Hal itu dilakukan untuk menekan Teheran agar bersedia melakukan negosiasi ulang perjanjian nuklir serta untuk mengekang pengaruh Iran di Timur Tengah. Sumber Reuters menyatakan perusahaan kilang China Sinopec Corp telah memangkas pembelian minyak dari Iran sekitar separuh pada bulan lalu karena tekanan dari Washington. Sementara, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan India, salah satu konsumen minyak terbesar Iran, tetap berkomitmen untuk membeli minyak dari Iran. Di sisi lain, negara-negara produsen lain anggota OPEC terus mengerek produksinya. Namun, analis mengatakan persediaan minyak global menurun.Arab Saudi diperkirakan bakal menambah pasokan minyak ke pasar untuk mengimbangi berkurangnya produksi dari Iran. Dua sumber Reuters yang familiar dengan kebijakan OPEC menyatakan Arab Saudi dan negara OPEC lain, termasuk sekutunya, telah membahas untuk mengerek produksnya sekitar 500 ribu barel per hari (bph). Kendati demikian, dalam catatan ANZ, tambahan pasokan dari negara produsen minyak utama diperkirakan tidak akan cukup mengimbangi berkurangnya pasokan Iran akibat sanksi AS yang estimasinya mencapai 1,5 juta bph. Pada Mei 2018 lalu, ekspor Iran mencapai puncaknya untuk tahun ini di angka 2,71 juta boh atau hampir tiga persen dari konsumsi minyak mentah harian global. Tahun depan, sumber Reuters menyatakan Arab Saudi khawatir kenaikan produksi minyak shale AS bakal menciptakan kondisi pasokan minyak yang membanjir lagi di dunia. Hal itu bisa terjadi terutama jika kurs dolar AS menguat dan permintaan minyak dari negara berkembang melemah.Badan Administrasi Energi AS melansir produksi minyak AS pada Juli 2018 lalu naik 269 ribu bph menjadi 10,96 juta bph. Namun, perusahaan layanan di sektor energi Baker Hughes mencatat pengebor minyak AS memangkas tiga rig minyak pada pekan yang berakhir pada 28 September 2018. Aktivitas pengeboran terhambat pada kuartal III 2018 dengan tambahan rig paling sedikit sejak 2017 akibat hambatan pada jaringan pipa di Cekungan Permian, lapangan minyak terbesar di AS. Produksi minyak di Cekungan Permian diperkirakan mencapai 3,5 juta bph pada Oktober 2018. Di tengah kekhawatiran terhadap kurangnya pasokan, Komisi Perdagangan Berjangka Komoditi AS (CFTC) mencatat manajer investasi mengerek total kontak opsi dan berjangka di New York dan London sebesar 3.782 kontrak menjadi 346.566 pada pekan yang berakhir 25 September 2018 lalu. (sfr/agi) Let's block ads! (Why?) October 01, 2018 at 01:52PM via CNN Indonesia https://ift.tt/2DH4XLp |
No comments:
Post a Comment